Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah berita di sebuah surat kabar regional Bogor. Saya cukup terkejut dengan berita tersebut, dikatakan bahwa Menteri Pemberdayaan Perempuan Ibu Meutia Hatta telah menyatakan bahwa sunat perempuan itu dilarang. Hal ini secara langsung telah mempengaruhi masyarakat Indonesia, terutama yang bekerja di bidang medis. Timbul beberapa keraguan dari kalangan pelaksana (seperti dokter desa, bidan, dll) akan boleh tidaknya sunat pada perempuan.
Statemen yang dikeluarkan oleh Bu Menteri ini bukannya tidak berdasar. Kontroversi boleh tidaknya sunat perempuan dilaksanakan sudah dimulai sejak tahun 2003 (pada kongres ICPA). Setelah tahun 2003 pun banyak penelitian dan kajian yang dilakukan oleh LSM-LSM yang concern di bidang keperempuanan. Dan hal yang dihasilkan pun sepakat pada kesimpulan bahwa sunat perempuan dilarang.
Alasan utama penyebab munculnya kesimpulan ini (dilarangnya sunat perempuan) adalah karena dinilai tidak aman akan menghambat proses reproduksi wanita. Kasus yang pernah menjadi sorotan (dan mungkin menjadi latar belakang permasalahan ini) yaitu, proses sunat pada perempuan di daerah Afrika yang mengakibatkan terjadinya infeksi dan pendarahan hebat. Hal ini terjadi karena proses sunat yang tidak benar dan tidak klinis. Di Indonesia sendiri, sunat (terutama perempuan) masih bergantung pada budaya daerah masing-masing. Pada beberapa wilayah di Indonesia sunat perempuan bahkan tidak dilakukan.
Jika dikembalikan pada asal muasal kebiasaan sunat, hal ini diawali oleh umat muslim. Sunat merupakan salah satu hal yang diwajibkan dalam Islam, dalam hal ini merupakan perintah dari Rasulullah SAW. Dari penelitian yang telah dilakukan, secara medis sunat sangat dianjurkan (terutama untuk laki-laki). Perkembangan penelitian saat ini menunjukkan bahwa sunat pada perempuan dapat beresiko secara kesehatan. Selain itu dengan disunat, dikhawatirkan akan mempengaruhi pola reproduksi seksual. Beberapa pihak bahkan menganggap sunat perempuan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk mutilasi organ manusia.
Perdebatan mengenai sunat perempuan ini masih berlangsung hingga saat ini. Banyak hal yang dikaitkan, antara lain perkembangan populasi dunia hingga konspirasi politik. Akan tetapi, hal ini dikembalikan pada pemahaman dan pendapat masing-masing individu. Pertimbangan secara logis dan agama memang diperlukan untuk menyelesaikan kontroversi ini. Kajian yang lengkap dan tidak hanya didasarkan pada kasus tertentu (kasuistik) perlu dilakukan. Figur sekelas Menteri Pemberdayaan Perempuan pun sebaiknya tidak dengan mudah mengeluarkan statemen tanpa ada penjelasan dan sosialisasi yang menyeluruh.
Regards,
Eny Widiya
Monday, October 09, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment