Pages

Wednesday, February 13, 2008

Rame-rame soal LSF Indonesia

Beberapa hari yang lalu gw melihat berita di infotainment yang cukup menarik. Beritanya tentang beberapa unsur masyarakat film yang mengajukan uji konstitusi untuk UU perfilman thn 92. Tuntutannya dikhususkan pada pasal 8 yang memuat mengenai keberadaan Lembaga Sensor Film (kl gw gak salah ya). Sidang MK-nya sendiri dihadiri ama masyarakat perfilman Indonesia, yang terbagi jadi 2 kubu, menuntut pembubaran LSF dan menentang pembubaran LSF. It's kinda like drama.

Pihak yang mengajukan uji konsitusi ini antara lain digawangi ama Mira Lesmana, Ratna Sarumpaet, Dian Sastro, Riri Riza dll. Sedangkan di kubu yang berbeda ada Anwar Fuadi, Dedy Mizwar, Yenny Rahman dll. Secara garis besar bisa gw bilang pertarungan tua-muda dah (K'Ratna bisa dibilang muda gak yah? huehehehehe....). Yang terjadi malahan saling serang dan kata-kata keras terucap di dalam ruang sidang sampai di luar. Ambil contoh aja, yang paling sering dikutip n ditayangkan ama media adalah pendapat Dian Sastro dan Anwar Fuadi yang berapi-api, meledak-ledak, panas membara dan segala keriuhan lainnya.

Menurut gw, masing-masing pihak ada benarnya, baik dari golongan pro-kontra LSF. Cuma yang jadi masalah, kurang bijaknya masing-masing pihak memahami persoalan dan menghargai pendapat yang lain. Yang kontra LSF terlalu idealis menginginkan perubahan, yang pro LSF kurang bisa mendengar pendapat yang kontra (yang notabene masih pada muda). Sebenernya hal ini bisa diselesaikan diluar ruang sidang atau secara informal. Suasana yang formal di ruang sidang cenderung membuat orang untuk keukeuh mempertahankan pendapat dan ego masing-masing. Kalau melihat orasi Dian Sastro diluar (waktu diwawancarai wartawan), pihak yang pro LSF pasti makin meradang. Apalagi melihat wawancara Bang Anwar Fuadi yang lebih membara lagi, makin panaslah suasana.

Gw berpendapat tidak akan ada hasil baik yang didapat bila melalui proses yang "kasar", dalam arti saling menyakiti kedua belah pihak. Orang yang cerdas dan punya intelektual yang tinggi pasti dapat mencari jalan untuk mendapatkan sesuatu tanpa harus mengeluarkan begitu banyak energi (apalagi energi negatif). Pendekatan yang dilakukan temen-temen dari MFI terlalu frontal dan menyakiti pihak lain, yang berakibat tidak tercapainya tujuan yang diinginkan. Yang namanya beraktualisasi dan berkreativitas itu idealnya memang tidak boleh dibatasi, akan tetapi akan lebih bijaksana jika ada koridor kepatutan yang menyertai. Koridor ini yang harus dipikirkan bersama oleh negara sebagai pembuat kebijakan, masyarakat film sebagai produsen film dan masyarakat Indonesia sebagai konsumen. Semoga perfilman Indonesia semakin maju dan semakin bermakna.

Regards,
080208
Eny Widiya

0 comments: